Label

Minggu, 14 Desember 2014

Cerpen percintaan



Coretan

            Hari ini adalah senja hari yang begitu terindah untuk Alezti, padahal ia tengah tercabik hatinya, tercabik sukmanya berhari-hari yang lalu, dimana ia harus ungkapan kegundahannya kesakitannya dengan raungan isakan tangis. Benarkah ia sedang bahagia? Bukti apa lagi yang bisa menguatkan kalau dia sedang bahagia bukan sedang teriris-iris hatinya.
            Jika kau Tanya siapa Alezti, dia adalah anak termiskin di desanya, Jangan pernah kau katakana ia adalah miskin ilmu, miskin pesona, miskin wibawa, atau miskin dongeng. Ia pintar bahkan juara 1,2,1,2,1 disetiap apapun kegiatan yang ia ikuti. Tak perlu memperpanjang teka-teki bahwa ia adalah miskin ketenangan, miskin kenyamanan untuk batinnya bahkan pengisi setiap hembusan nafasnya.
“ Tiada lagi yang peduli sama gue. Gue gak kuat bawa beban-beban ini.. Tuhan tak adil !”
Isaknya di kesendirian di jam istirahat di lantai paling atas, gedung kosong tanpa dinding. Bahkan kalau aku lihat, dia seperti pasien rumah sakit jiwa yang masuk sekolah di sekolah umum. Lambaian tangannya kekiri dan kekanan mengisyaratkan bahwa dirinya tengah di jalan tol besar yang akan mengakhiri hidupnya, berdisis dan berteriak-teriak tak jelas.
            10 menit sudah aku berdiri mematung, lihatlah dia mulai bergerak menuju tangga keluar, masuk mushola. Dari kejauhan ku buntuti dia, walau seperti pencuri yang selalu siaga, adeganku saat ini. Bagaimana mungkin dia setres seperti gila di sekolah umum terfaforit di Kebumen ini?? Aku sendiri penasaran dan berhari-hari aku buang waktu mapelku di kelas hanya karna aku terlalu kepo dengan sikap-sikapnya akhir-akhir ini. Tak jarang ko yang menegurku dengan kata-kata yang merendah terhadapku, untuk tidak mengikuti adegan gila Alezti. Yah, ini aku lakukan karna aku belum percaya dengan vonisan terhadap dirinya. Bahkan sekolahpun tak punya bukti untuk membawanya ke rumah sakit jiwa. Tetapi riskan memang cibiran teman-teman selalu memojokannya.

Brag !!!Brag !!! Brag !!!
Bunyi itu jelas sekali dari arah mushola itu, pikiranku terus merangkai apa sih yang ia lakukan di Mushola. Oh kalau memang dia berbuat tidak senonoh di situ, akan aku vonis dia memang gila dan aku harus berhenti untuk mendekatinya dan harus ku bekukan juga hatiku untuk tidak bertanya-tanya tentangnya.
            Ternyata tak hanya aku yang tersentak dengan bunyi itu, bahkan beberapa gerombolan kelas IPA keluar menuju tempat itu. begitun juga dengan aku. Ku percepat gerakan kakiku, kuturuni tangga dengan susah karena terdesak-desak teman yang lain. Mungkin Tuhan sedang tak meridhoi niatku ini, aku hentikan nafsu untuk terus turun, karna kakiku berdarah. Kepalaku juga terasa berpuing-puing, sementara mataku terus terpejam menghitung langkah kaki yang mendekatiku.
“ Kamu kenapa??”
Sungguh, aku belum berani untuk buka mataku, aku masih merinding dengan suara itu yang serak-serak seperti barusaja menangis. Kemudian terlintas dipikranku untuk menjauhnya. Iya suster ngesot mungkin jika kau lihat aku.
“ heh, apa yang kamu lakukan ! Aku Alezti” sambungnya.
            Duh betapa malunya aku melakukan hal yang sangat ceroboh. Biarlah aku tetap diam, aku ingin perhatikan kerindangan wajahnya dan merasakan berita besar yang selalu di dekapnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar