Label

Minggu, 14 Desember 2014

Cerpen hikmah



Bintang Bukan Untuk Bulan
Oleh :Ririn N.A

Kali ini aku memang harus terbujur dengan awangan langit terhalang oleh batas yang begitu tebal, aku harus menggali lubang untuk berteduh dari dunia kelam. Di bilik sekat hening, semua lamunanku membuyar oleh sosok penerang.
 “ Da, aku harus pergi...” suara david yang menyontakan            
 semua dermaga yang sudah lungsuh menjadi pecah.
 “ tapi kenapa?” tanyaku dengan telanan ludah berkali-kali.
“entahlah mungkin karena aku sudah tak mencintaimu lagi,” masih ada kata yang belum terucap dari bibirnya, masih ada taatpan mataku berharap david melanjutkan kata-katanya, karena aku tak mampu mendengar kenyataan yang lebih buruk lagi nanatinya.
            Aku mulai terngaung menahan awan hitam yang terus diam, bahkan kacamataku telah lembab oleh air mata.
“ Bukan ko’, kita akan bertemu di puncak mimpi kita, aku menjemputmu di masjid,” terasa agak mereda tetes airmataku, begitu juga dengannya, terlihat ada sorot paksaan di matanya yang dari tadi tertunduk.
            Sudah seminggu aku dirumah sakit, tiga hari kebelakang selalu membekas goresan yang begitu dalam.papah tengah melamun di pojok tempat tidurku dan ada titik air mata disana. Padahal papa baru saja menemui dengan penolong semangatku untuk bebas dari rumah sakit ini.
“ pa, ayo kita pulang, aku ingin segera kuliah”
            Papa belum bisa lihat dunia, papa masih terbang bersama roh ibu yang selalu ia rindukan, alasanya setiap kali tanya sedang apa .
“ pa, apa umurku sudah tak lama lagi?” sungguh pertanyaanku ini diluar kendaliku. Bahkan papa kaget dan menatapku begitu dalam. Tanpa ada ucapan, mungkin aku bisa mengataknnya kosong.
“ tiiiiiidakkkk... kamu akan bersama papa ko’, “ suara papa bergetar
            Hampir tiga tahun aku tidak bertemu dengan david. Tapi tetsya selalu memberitahuku bahwa david telah sukses di sekolahnya. Tetsya adalah satu-satunya temanku yang beragama islam. Papa sebenarnya melarang aku dekat denganya, tapi akhir-ahir ini ayah selalu menuruti keinginanku. Aku rasa tuhan sedang rindu dengan anaknya.
            Seperti biasanya, aku duduk di bawah pohon tempat aku bertemu dengannya. Bergudang-gudang pertanyaan yang aakan terlontar dari mulutku nanatinya.
“ pagi melda...” sapa tetsya seketika.
Aku memang tak pernah mendengar siapapun mengucapkan salam ala islam kepadaku, padahal aku berharap tetsya melakukannya. Karena aku ingin david mulai larut dalam fikirannku, tapi rasanya hatiku tak pernah rela melepaskannya, padahal david hanya menjemputku di masjid   di hadapan Tuhannya, bukan di Gereja dihadapan Tuhanku.
“ tets, david bagaimana kabarnya?” katanya david baik-baik saja. Aku lega mendengarnya.
“Ohya, apa Tuhanmu sayang padamu???” terlihat jelas wajahnya menjadi gugup dan merah, sama seperti aku tanyakan pada david.
“aku ingin sepertimu” lanjutku.
“ Benarkah??? David pasti senang mendengarnya.” Riangnya sampai-sampai dia menyebut nama david dengan sendirinya.
“ David menginginan itu??”
            Sayang papa terlalu cepat datang, aku tak sempat  mendengar jawaban tetsya. Betapa marahnya aku dan sunguku lebih keluar lagi setelah papa membawaku ke tempat yang paling menyebalkan, rumah sakit.
            Burbulan-bulan aku tak chek up, pilihanku sudah bulat. Aku akan mulai berkerudung. Tapi betapa bodohnya aku, umurku tak akan lama lagi, kali ini papa yang membukanya sendiri, terlalu muak dengan sikapku mungkin. Aktivitasku mulai hanya duduk-duduk di kursi roda. Darah dari hidungku selalu merembes keluar dan fatalnya papa selalu tak menginginkan aku sekolah lagi. Semua mimpiku gugur, seperti rambutku yang selalu rontok hingga akhirnya aku tak punya rambut. Aku mulai malu dengan diriku sendiri.dan aku mulai kalut dengan lambungan mimpi-mimpiku.aku mulai diam dan melepas mimpiku terbang karna aku yakin awan hitam tak munkin bergerak lagi seperti waktu david meninggalkanku.
            Sepuluh menit waktu terbuang tanpa bersalah.ku hitung-hitung kapas yang jatuh didekat jendela kamarku berharap papa membukakan pintu untuk aku ujian kelulusan.ternyata bulan berpihak padaku dan mengijinkan aku terasenyum di kelulusanku.
“melda,ada yang menunggumu di koridor sana”
ucap papa dengan acungan telunjuknya.ada perasaan ragu,tak biasanya papa mengijinkan aku bertemu dengan sembarangan orang.katanya agar tubuhku tetap vit.tepat pada koridor aku melihat cowok dengan gagah tegap membelakangiku.siapakah dia,benarkah david? “david....”teriakku kaget.aku mulai menggapainya tetapi aku mulai menanggis.terasa berat dia tak menyadarinya,dia hanya diam.dalam hati aku kesal dengan semuanya.”tidakkah kau rindu denganku?kenapa kau tak gappai aku? “ejekkanya
            Tangisan mengucur dari mataku, ku banting kata-kataku dengan harapan tanganku bisa bergerak. Lima bekas menit sudah hanya diam dan isak yang mewarnai tapi sudah cukup bintang bersinar terang.matahari senja telah dekat dengan diriku dan sang bintang hidupku.”mungkinkah aku dan kau dapat menatap matahari senja kembali?”pertanyaan yang memecah keheningan.
“tidak !ibu tak ijinkan kau dengan dia !dia kerdil dan lumpuh david !dia lemah “teriak ibu david tiba-tiba. Aku hanya diam. “ cukup ibu, jangan kau hina calon istriku bu” bantah david.
            Aku sedikit senang dengan calon isteriku, tapi mungkinkah katak dalam tempurung berubah menjadi pelangi. Padahal dunia sudah terang?
“okeh ! dengan cataatan dia msauk ITB” bengis ekali kata-kata itu. Sementara david menatapku mencari jawaban akan tantangan ibunya. Aku hanya mengangguk walau hatiku benar-benar berdebat. Seusai itu telah pergi pengganggu dan tinggallah kita berdua. Sudah ku duga, pasti akan tenang tak ada suara lagi, dia tahu bahwa hatiku sedang pedih, kunang-kunang tak akan datang siang hari, hatiku menguatkanku yang  sedari tadi tertunduk.
“ bukankah dalam agamamu, tidak boleh berdua?”
Aku bangga kau konsekuen dengan agamamu, kau ajak aku pulang walaupun kau tahu bahwa agamaku juga agamamu. Kau tak memberi umpan serang. Aku sayang kamu david, dengan kekuranganku kau masih mencintaiku bahkan bersedia menjadi imamku, tapi aku menangis tanganku sangat sulit bergerak lagi. Mulai timbul derai airmata di sebrang sana. Kau temani aku dan sengaja kau tak datang bersama aku sore terakhir itu. Kau tertabrak mobil dan melepas dunia padaha aku telah berhasil.
            Aku sungguh menyesal, kenapa tak aku saja yang menemuimu dulu?? Ternyata Tuhan kita tak ijinkan kita bersama. Kau pergi sebelum aku. Dan kini aku sudah menjadi seorang ibu dari anak-anakku. Semoga kau nyaman disana sama seperti senyaman waktu dulu aku di dekatmu.

Jangan Pergi..
            Waktu telah menunjukkan pukul 03.30 WIB. Pagi itu begitu dingin dengan suara di luar sana, seperti biasa Ibuku sudah terbangun dan berbenah membereskan dan merapikan rumah. Mendengar kesibukan Ibuku, aku hanya bergerak melemaskan otot-otot kaku tubuhku dan menarik selimut tebal menutupi tubuhku.
                                      
            Waktu terus berjalan hingga menunjukkan pukul 06.00 dan sudah seperti dijadwalkan Ibuku membangnkanku. Dan benar-benar , tiba-tiba pintu kamarku bergerak kencang, karena getaran dari ibu. “Brakk..Brakkk...Brakkk!!! Bangun nak, bangun sudah siang !!” pinta ibu memintaku untuk bangun. Namun aku hanya mengaruhkan suaranya. Merasa belum ada jawaban, Ibuku menggedor-gedor pintu kamarku lebih keras lagi, “ brakk... brakkk...brakkk...!!!” kali ini ibu mulai jengkel. “Sinta bangun...!!!bangun tidak, kalau tidak ibu guyur nanti. “ brakk.. brakkk brakk !!!” teriak Ibu sembari lebih kencang menggedor pintu. Dengan jengkel dan malas mulutku menjoba menjawab, “ ya, Bu...”
            Akhirnya akupun terbangun dan sesegera menuju kamar mandi, bergegas mandi dan menuju sekolah. Namun sebelum berangkat aku tak pernah melupakan sepiring sarapan dan sejumlah uang yang selalu disiapkan Ibu. Setelah bersarapan aku langsung pergi ke sekolah.
            Di sekolah aku termasuk orang- orang yang aktif. Banyak kegiatan yang aku ikuti. Dengan kegiatan itu, membuat aku jarang ada di rumah, bahkan aku sering pulang sore, bahkan juga sampai malam jika di sekolah akan mengadakan acara besar. Tak jarang juga, Ibuku marah-marah kepadaku, mengingat aku adalah anak gadis satu-satunya di keluarga ini. Tapi ketika Ibu marah, Akupun ikut kesal karena I bu tidak bisa mengerti perasaanku. Kadang juga aku sering menguncikan diri di kamar dan bahkan sampai tidak berkomunikasi dengan Ibu sampai berhari-hari. Sampai saat ibu sakit, tapi aku tidak mengetahuinya.
            Suatu pagi ibu tidak membuatkan sarapan juga tidak membangunkanku, aku jadi terlambat dan aku sangat kesal pada ibu. “ ihh.. ibu.. bagaimana sh kok aku tak di bangunkan, kan jadi kesiangan bu, !!!” teriakku kepada ibu. Ibu mencoba menjawab dengan pelan dan sambil batuk-batuk.” Sinta, maafkan ibu, ibu sedang sakit ..!!!” suaranya lirih. Tapi aku tak mendengarkannya.
Aku terus tergegas ke sekolah dengan tergesa-gesa. Seperti biasa, hari inipun aku pulang sorekarena ada rapat . ketika rapat dimulai Hpku berdering, dan langsung saja aku matikan, berkali-kali dan tampak mengganngu akhirnya Hpku dinonaktifkan. Waktu terus berjalan dan rapatpun selesai.
            Di perjalanan pulang aku bertemu dengan orang-orang berkain hitam-hitam dan bertutup kepala, seperti hendak berlayat. Aku bertanya-tanya dalam hati, “siapakah yang meninggal hari ini ?” aku melanjutkan perjalannanku. Ketika di depan rumah, aku semakin bingung, karena banyak orang disekitar rumahku. Akupun melihat bendera kuning yang berkibar di pagar depan rumahju. Sejenak aku jadi menghawatirkan ibu, segera aku menuju ke dalam rumah untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
            Aku masuk dengan perasaan cemas dan takut. Ketika sudah sampai di dalam, aku begitu terkejut, tubuhku mendadak menjadi lemas, dan airmataku mulai membasahi pipiku perlahan. Ternyata apa yang ku cemaskan dan takutkan benar-benarterjadi. Ibu telah tiada.
            Akupun mendekati jasad ibuku dengan air yang terus mengalir dari matsku.serta penyesalan yang begitu menyesak dalam dada. Akupun memeluk dan mencium ibu dan pecahlah tangisku . “Ibu....ibu....kenapa ibu ninggalin Sinta bu, Sinta saayang ibu.... Ayo bu, bangunlah !!!” tangisku
Tiba-tiba dari belakang ada yang mendekapku,ternyata pamankuyang mencoba menenangkanku. “ Sinta, sudahlah biarkan ibumu tenang”
“ ibu,.. jangan pergi bu !!!’ teriakku lagi
“ kenapa tak ada yang mengabariku !!!” protesku
“paman sudah coba menghubungimu, tapi tidak bisa” tanggap paman. Aku termenung sejenak, dan mulai tersadar, betapa besar pengorbanan ibku, namun aku tak pernah memperhatikannya. Sekarang tinggalah penyesalan yang ada.
Ibu... maafkan aku
Aku menyayangimu ibu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar