Bintang
Bukan Untuk Bulan
Oleh :Ririn N.A
Kali ini aku memang harus terbujur
dengan awangan langit terhalang oleh batas yang begitu tebal, aku harus
menggali lubang untuk berteduh dari dunia kelam. Di bilik sekat hening, semua
lamunanku membuyar oleh sosok penerang.
“ Da, aku harus pergi...” suara david yang
menyontakan
semua dermaga yang sudah lungsuh menjadi
pecah.
“ tapi kenapa?” tanyaku dengan telanan ludah
berkali-kali.
“entahlah
mungkin karena aku sudah tak mencintaimu lagi,” masih ada kata yang belum
terucap dari bibirnya, masih ada taatpan mataku berharap david melanjutkan
kata-katanya, karena aku tak mampu mendengar kenyataan yang lebih buruk lagi
nanatinya.
Aku mulai terngaung menahan awan
hitam yang terus diam, bahkan kacamataku telah lembab oleh air mata.
“
Bukan ko’, kita akan bertemu di puncak mimpi kita, aku menjemputmu di masjid,”
terasa agak mereda tetes airmataku, begitu juga dengannya, terlihat ada sorot
paksaan di matanya yang dari tadi tertunduk.
Sudah seminggu aku dirumah sakit,
tiga hari kebelakang selalu membekas goresan yang begitu dalam.papah tengah
melamun di pojok tempat tidurku dan ada titik air mata disana. Padahal papa
baru saja menemui dengan penolong semangatku untuk bebas dari rumah sakit ini.
“
pa, ayo kita pulang, aku ingin segera kuliah”
Papa belum bisa lihat dunia, papa
masih terbang bersama roh ibu yang selalu ia rindukan, alasanya setiap kali
tanya sedang apa .
“
pa, apa umurku sudah tak lama lagi?” sungguh pertanyaanku ini diluar kendaliku.
Bahkan papa kaget dan menatapku begitu dalam. Tanpa ada ucapan, mungkin aku
bisa mengataknnya kosong.
“
tiiiiiidakkkk... kamu akan bersama papa ko’, “ suara papa bergetar
Hampir tiga tahun aku tidak bertemu
dengan david. Tapi tetsya selalu memberitahuku bahwa david telah sukses di
sekolahnya. Tetsya adalah satu-satunya temanku yang beragama islam. Papa
sebenarnya melarang aku dekat denganya, tapi akhir-ahir ini ayah selalu
menuruti keinginanku. Aku rasa tuhan sedang rindu dengan anaknya.
Seperti biasanya, aku duduk di bawah
pohon tempat aku bertemu dengannya. Bergudang-gudang pertanyaan yang aakan
terlontar dari mulutku nanatinya.
“
pagi melda...” sapa tetsya seketika.
Aku
memang tak pernah mendengar siapapun mengucapkan salam ala islam kepadaku,
padahal aku berharap tetsya melakukannya. Karena aku ingin david mulai larut
dalam fikirannku, tapi rasanya hatiku tak pernah rela melepaskannya, padahal
david hanya menjemputku di masjid di
hadapan Tuhannya, bukan di Gereja dihadapan Tuhanku.
“
tets, david bagaimana kabarnya?” katanya david baik-baik saja. Aku lega
mendengarnya.
“Ohya,
apa Tuhanmu sayang padamu???” terlihat jelas wajahnya menjadi gugup dan merah,
sama seperti aku tanyakan pada david.
“aku
ingin sepertimu” lanjutku.
“
Benarkah??? David pasti senang mendengarnya.” Riangnya sampai-sampai dia
menyebut nama david dengan sendirinya.
“
David menginginan itu??”
Sayang papa terlalu cepat datang,
aku tak sempat mendengar jawaban tetsya.
Betapa marahnya aku dan sunguku lebih keluar lagi setelah papa membawaku ke
tempat yang paling menyebalkan, rumah sakit.
Burbulan-bulan aku tak chek up,
pilihanku sudah bulat. Aku akan mulai berkerudung. Tapi betapa bodohnya aku,
umurku tak akan lama lagi, kali ini papa yang membukanya sendiri, terlalu muak
dengan sikapku mungkin. Aktivitasku mulai hanya duduk-duduk di kursi roda.
Darah dari hidungku selalu merembes keluar dan fatalnya papa selalu tak
menginginkan aku sekolah lagi. Semua mimpiku gugur, seperti rambutku yang
selalu rontok hingga akhirnya aku tak punya rambut. Aku mulai malu dengan
diriku sendiri.dan aku mulai kalut dengan lambungan mimpi-mimpiku.aku mulai
diam dan melepas mimpiku terbang karna aku yakin awan hitam tak munkin bergerak
lagi seperti waktu david meninggalkanku.
Sepuluh menit waktu terbuang tanpa
bersalah.ku hitung-hitung kapas yang jatuh didekat jendela kamarku berharap
papa membukakan pintu untuk aku ujian kelulusan.ternyata bulan berpihak padaku
dan mengijinkan aku terasenyum di kelulusanku.
“melda,ada
yang menunggumu di koridor sana”
ucap papa dengan acungan telunjuknya.ada perasaan ragu,tak biasanya papa
mengijinkan aku bertemu dengan sembarangan orang.katanya agar tubuhku tetap
vit.tepat pada koridor aku melihat cowok dengan gagah tegap
membelakangiku.siapakah dia,benarkah david? “david....”teriakku kaget.aku mulai
menggapainya tetapi aku mulai menanggis.terasa berat dia tak menyadarinya,dia
hanya diam.dalam hati aku kesal dengan semuanya.”tidakkah kau rindu
denganku?kenapa kau tak gappai aku? “ejekkanya
Tangisan mengucur dari mataku, ku
banting kata-kataku dengan harapan tanganku bisa bergerak. Lima bekas menit
sudah hanya diam dan isak yang mewarnai tapi sudah cukup bintang bersinar terang.matahari
senja telah dekat dengan diriku dan sang bintang hidupku.”mungkinkah aku dan
kau dapat menatap matahari senja kembali?”pertanyaan yang memecah keheningan.
“tidak
!ibu tak ijinkan kau dengan dia !dia kerdil dan lumpuh david !dia lemah “teriak
ibu david tiba-tiba. Aku hanya diam. “ cukup ibu, jangan kau hina calon istriku
bu” bantah david.
Aku sedikit senang dengan calon
isteriku, tapi mungkinkah katak dalam tempurung berubah menjadi pelangi.
Padahal dunia sudah terang?
“okeh
! dengan cataatan dia msauk ITB” bengis ekali kata-kata itu. Sementara david
menatapku mencari jawaban akan tantangan ibunya. Aku hanya mengangguk walau
hatiku benar-benar berdebat. Seusai itu telah pergi pengganggu dan tinggallah
kita berdua. Sudah ku duga, pasti akan tenang tak ada suara lagi, dia tahu
bahwa hatiku sedang pedih, kunang-kunang tak akan datang siang hari, hatiku
menguatkanku yang sedari tadi tertunduk.
“
bukankah dalam agamamu, tidak boleh berdua?”
Aku
bangga kau konsekuen dengan agamamu, kau ajak aku pulang walaupun kau tahu
bahwa agamaku juga agamamu. Kau tak memberi umpan serang. Aku sayang kamu
david, dengan kekuranganku kau masih mencintaiku bahkan bersedia menjadi
imamku, tapi aku menangis tanganku sangat sulit bergerak lagi. Mulai timbul
derai airmata di sebrang sana. Kau temani aku dan sengaja kau tak datang
bersama aku sore terakhir itu. Kau tertabrak mobil dan melepas dunia padaha aku
telah berhasil.
Aku sungguh menyesal, kenapa tak aku
saja yang menemuimu dulu?? Ternyata Tuhan kita tak ijinkan kita bersama. Kau
pergi sebelum aku. Dan kini aku sudah menjadi seorang ibu dari anak-anakku.
Semoga kau nyaman disana sama seperti senyaman waktu dulu aku di dekatmu.
Jangan Pergi..
Waktu
telah menunjukkan pukul 03.30 WIB. Pagi itu begitu dingin dengan suara di luar
sana, seperti biasa Ibuku sudah terbangun dan berbenah membereskan dan
merapikan rumah. Mendengar kesibukan Ibuku, aku hanya bergerak melemaskan
otot-otot kaku tubuhku dan menarik selimut tebal menutupi tubuhku.
Waktu terus berjalan hingga
menunjukkan pukul 06.00 dan sudah seperti dijadwalkan Ibuku membangnkanku. Dan
benar-benar , tiba-tiba pintu kamarku bergerak kencang, karena getaran dari
ibu. “Brakk..Brakkk...Brakkk!!! Bangun nak, bangun sudah siang !!” pinta ibu
memintaku untuk bangun. Namun aku hanya mengaruhkan suaranya. Merasa belum ada
jawaban, Ibuku menggedor-gedor pintu kamarku lebih keras lagi, “ brakk...
brakkk...brakkk...!!!” kali ini ibu mulai jengkel. “Sinta bangun...!!!bangun
tidak, kalau tidak ibu guyur nanti. “ brakk.. brakkk brakk !!!” teriak Ibu
sembari lebih kencang menggedor pintu. Dengan jengkel dan malas mulutku menjoba
menjawab, “ ya, Bu...”
Akhirnya akupun terbangun dan
sesegera menuju kamar mandi, bergegas mandi dan menuju sekolah. Namun sebelum
berangkat aku tak pernah melupakan sepiring sarapan dan sejumlah uang yang
selalu disiapkan Ibu. Setelah bersarapan aku langsung pergi ke sekolah.
Di sekolah aku termasuk orang- orang
yang aktif. Banyak kegiatan yang aku ikuti. Dengan kegiatan itu, membuat aku
jarang ada di rumah, bahkan aku sering pulang sore, bahkan juga sampai malam
jika di sekolah akan mengadakan acara besar. Tak jarang juga, Ibuku marah-marah
kepadaku, mengingat aku adalah anak gadis satu-satunya di keluarga ini. Tapi
ketika Ibu marah, Akupun ikut kesal karena I bu tidak bisa mengerti perasaanku.
Kadang juga aku sering menguncikan diri di kamar dan bahkan sampai tidak
berkomunikasi dengan Ibu sampai berhari-hari. Sampai saat ibu sakit, tapi aku
tidak mengetahuinya.
Suatu pagi ibu tidak membuatkan
sarapan juga tidak membangunkanku, aku jadi terlambat dan aku sangat kesal pada
ibu. “ ihh.. ibu.. bagaimana sh kok aku tak di bangunkan, kan jadi kesiangan
bu, !!!” teriakku kepada ibu. Ibu mencoba menjawab dengan pelan dan sambil
batuk-batuk.” Sinta, maafkan ibu, ibu sedang sakit ..!!!” suaranya lirih. Tapi
aku tak mendengarkannya.
Aku terus
tergegas ke sekolah dengan tergesa-gesa. Seperti biasa, hari inipun aku pulang
sorekarena ada rapat . ketika rapat dimulai Hpku berdering, dan langsung saja
aku matikan, berkali-kali dan tampak mengganngu akhirnya Hpku dinonaktifkan.
Waktu terus berjalan dan rapatpun selesai.
Di perjalanan pulang aku bertemu
dengan orang-orang berkain hitam-hitam dan bertutup kepala, seperti hendak berlayat.
Aku bertanya-tanya dalam hati, “siapakah yang meninggal hari ini ?” aku
melanjutkan perjalannanku. Ketika di depan rumah, aku semakin bingung, karena
banyak orang disekitar rumahku. Akupun melihat bendera kuning yang berkibar di
pagar depan rumahju. Sejenak aku jadi menghawatirkan ibu, segera aku menuju ke
dalam rumah untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Aku masuk dengan perasaan cemas dan
takut. Ketika sudah sampai di dalam, aku begitu terkejut, tubuhku mendadak
menjadi lemas, dan airmataku mulai membasahi pipiku perlahan. Ternyata apa yang
ku cemaskan dan takutkan benar-benarterjadi. Ibu telah tiada.
Akupun mendekati jasad ibuku dengan
air yang terus mengalir dari matsku.serta penyesalan yang begitu menyesak dalam
dada. Akupun memeluk dan mencium ibu dan pecahlah tangisku .
“Ibu....ibu....kenapa ibu ninggalin Sinta bu, Sinta saayang ibu.... Ayo bu,
bangunlah !!!” tangisku
Tiba-tiba dari
belakang ada yang mendekapku,ternyata pamankuyang mencoba menenangkanku. “
Sinta, sudahlah biarkan ibumu tenang”
“ ibu,.. jangan
pergi bu !!!’ teriakku lagi
“ kenapa tak ada
yang mengabariku !!!” protesku
“paman sudah
coba menghubungimu, tapi tidak bisa” tanggap paman. Aku termenung sejenak, dan
mulai tersadar, betapa besar pengorbanan ibku, namun aku tak pernah
memperhatikannya. Sekarang tinggalah penyesalan yang ada.
Ibu... maafkan
aku
Aku menyayangimu ibu...